Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2022

Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat???

  Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini terpolarisasi menjadi dua, yaitu mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan makna). Para ulama mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas makna fi sabilillah seenaknya. Zakat untuk fi sabilillah harus diberikan persis seperti yang dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara pisik. Sebaliknya, para ulama muwassa'in memperluas maknanya seluas-luasnya. 1. Pendapat Yang Menyempitkan Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali umumnya termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin). Mereka menegaskan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhamm

Kapan Kita disebut Beri'tikaf?

  Seluruh ulama termasuk keempat madzhab utama, telah sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid, atau al-lubsu fil masjid (اللبس في المسجد) merupakan rukun i’tikaf. Namun yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus i’tikaf. 1. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah Madzhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa durasi minimal untuk beri’tikaf adalah sa’ah (ساعة), baik di siang hari atau malam hari.  Pengertian istilah sa’ah di dalam bahasa Arab modern bermakna satu jam atau 60 menit. Namun berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang pengertiannya adalah sesaat, sejenak atau sebentar. Madzhab Al-Hanabilah relatif memiliki pendapat yang sama dengan madzhab Al-Hanafiyah dalam masalah durasi minimal. 2. Mazhab Al-Malikiyah Para ulama di dalam madzhab Al-Malikiyah agak sedikit berselisih tentang durasi minimal i’tikaf. Sebagian dari mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa

Ucapan Lebaran

 *Minal Aidin Wal Faizin?* Ucapan tahniah paling populer yang banyak digunakan orang saat hari lebaran adalah  'minal aidin wal faizin'.  Tapi tahukah anda bahwa ternyata lafazh ini bukan bagian dari ayat Qur'an, juga bukan lafazh hadits Nabawi. Kalau begitu, dari mana sumber lafazh ini? Kenapa begitu populer diucapankan oleh kita?  Kapan-kapan nanti kita telusuri jejaknya. Namun kali ini saya ingin bahas dari sisi maknanya. Dalam bahasa Arab maknanya bukan : 'mohon maaf lahir dan batin'.  Namun entah bagaimana ternyata banyak orang yang terlanjur salah kaprah. Mungkin karena tidak tahu bahasa Arab, atau tahu tapi kurang teliti, lalu seakan-akan ungkapan ini bermakna : mohon maaf lahir dan batin. Secara qafiyah atau sajak, belakangnya sama-sama pakai in, in dan in. Mungkin orang main cantolin aja karena enak didengar.  Padahal kalau kita bedah kata-katanya satu per satu, tidak ada satu pun yang mengandung unsur minta maaf, apalagi pakai lahir dan batin segala. Mari

Bulan Sya’ban: Amalan dan Keutamaannya

✅ Definisi Sya’ban   Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab: إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ   Dinamakan Sya’ban, karena saat itu dia  menampakan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501)    Dia juga bermakna bercabang (asy Sya’bu) atau  tasya'aba (berpencar-At Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air. ✅ Dianjurkan Banyak Berpuasa Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut: Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْ

Mengapa Terjadi Perbedaan antar Ahli Hadits dalam Menilai Suatu Hadits?

  Sebenarnya banyak hadits yang ulama sepakat akan keshahihannya, sebagaimana banyak juga hadits yang ulama sepakat juga ke-dhaif-annya. Diantara itu, ada hadits yang memang masih diperselisihkan derajatnya. Sangat penting mengetahui sebab perbedaan ulama muhaddits dalam menetapkan suatu hadits. Agar taklidnya tidak begitu parah. Diantara sebab-sebab perbedaan itu adalah: 1. Perbedaan penerapan kaidah minor. Para Muhadditsin, disamping berpegang kepada kaidah-kadiah umum yang disepakati (kaidah mayor), mempunyai visi dan kekhasan tersendiri dalam operasionalnya (kaidah minor).  Operasional ketersambungan sanad (Ittishalus Sanad) misalnya, antara al-Bukhari dan Muslim terdapat perbedaan. Al-Bukhari mensyaratkan seorang murid (rawi kedua) pernah bertemu langsung dengan guru (rawi pertama) walaupun hanya sekali [1]. Sedangkan menurut Muslim, sanad dinilai bersambung jika terdapat indikasi bahwa kedua rawi itu pernah bertemu, karena ditemukan bukti bahwa keduanya hidup sezaman (Mu’asharah)

Tarawih vs Tahajjud

  _Oleh : Ahmad Sarwat, Lc.MA_ Setidaknya ada tiga jenis shalat yang berbeda di malam Ramadhan, yaitu tarawih, tahajjud dan witir. Ketiganya punya profil sendiri-sendiri yang berbeda. Para ulama fiqih sudah sejak awal menjelaskan  perbedaan masing-masing ibadah ritual itu dengan rinci, detail dan terstruktur. Sehingga tidak perlu lagi kerok dan tertukar-tukar. Khusus untuk tarawih dan tahajjud, memang paling sering tertukar-tukar. Maka saya coba uraikan 8 perbedaan antara keduanya. *1. Perbedaan Pertama : Masa Pensyariatan Tarawih* Tarawih belum disyariatkan ketika Rasulullah SAW masih di Mekkah, maka selama di masa  Mekkah tidak dikenal shalat tarawih, karena baru nanti ketika di Madinah setelah hijrah Rasulullah SAW melaksanakannya. Berbeda dengan shalat tahajjud yang disyariatkan sejak awal mula masa kenabian. Ada yang mengatakan bahwa wahyu kedua yang turun sudah memerintahkan bangun malam dalam arti shalat tahajjud. Intinya, shalat tahajjud sudah dikenal dan disyariatkan sejak mas