Bulan Sya’ban: Amalan dan Keutamaannya
✅ Definisi Sya’ban
Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab:
إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ
Dinamakan Sya’ban, karena saat itu dia menampakan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501)
Dia juga bermakna bercabang (asy Sya’bu) atau tasya'aba (berpencar-At Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.
✅ Dianjurkan Banyak Berpuasa
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)
Inilah bukan berarti puasa yang paling banyak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan, tapi ini puasa sunah terbanyak dalam satu bulan. Sebab, beliau tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.
✅ Apa sebab dianjurkan puasa Sya’ban?
Pada bulan Sya’ban amal manusia di angkat kepada Allah Ta’ala. Maka, alangkah baik jika ketika amal kita diangkat, saat itu kita sedang berpuasa.
Dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرَاكَ تَصُومُ فِي شَهْرٍ مَا لَا أَرَاكَ تَصُومُ فِي شَهْرٍ مثل مَا تَصُومُ فِيهِ، قَالَ: " أَيُّ شَهْرٍ ؟ "، قُلْتُ: شَعْبَانُ، قَالَ: " شَعْبَانُ بَيْنَ رَجَبٍ وَشُهِرِ رَمَضَانَ، يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ، يَرْفَعُ فِيهِ أَعْمَالَ الْعِبَادِ، فَأُحِبُّ أَنْ لَا يُرْفَعَ عَمَلِي إِلَّا وَأَنَا صَائِمٌ "
“Wahai Rasulullah, aku melihat engkau berpuasa pada sebuah bulan yang mana aku belum pernah melihat kau melakukannya seperti puasa di bulan tersebut.”
Beliau bersabda; “Bulan apa itu?”
Aku menjawab: “Sya’ban.”
Beliau bersabda: “Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.”
(HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3540, Alauddin Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 35171. Status hadits: Hasan (baik). Lihat Imam Al Munawi dalam At Taysir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 2/151)
✅ Malam Nishfu Sya'ban Yang Istimewa
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ
"Allah Ta’ala menampakkan (rahmat-Nya) kepada hamba-Nya di malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali orang yang bermusuhan dan pembunuh." (HR. Ahmad no. 6642)
Hadits ini diriwayatkan oleh banyak jalur yang saling menguatkan, yaitu: Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah al Khusyani, Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan Aisyah.
Sehingga dinyatakan SHAHIH oleh para pakar hadits seperti:
- Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 5, hal. 98-99, no hadits. 6642. Penerbit: Darul Hadits, Kairo
- Syaikh Syu'aib al Arnauth, Tahqiq Musnad Ahmad, jilid. 11, hal. 216, no hadits. 6642. Penerbit: Muasasah Ar Risalah, 2001
- ٍSyaikh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, jilid. 3, hal. 135, no hadits. 1144. Penerbit: Maktabah Al Ma'arif, Riyadh. 1995, dengan redaksi: “kecuali orang yang bermusuhan dan musyrik.”
✅ Sunnah Menghidupkan Malam Nishfu Sya'ban Dengan Ibadah
Mayoritas ulama mengatakan bahwa dianjurkan (mandub) menghidupkan malam Nishfu Sya'ban dengan berbagai amal shalih secara umum dan mutlak. Seseorang bisa memilih: dzikir, tilawah, shalat malam, sedekah, dan lainnya.
Tertulis dalam Al Mausu'ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
Menurut mayoritas ahli fiqih, adalah hal yang sunnah (nadb) menghidupkan malam Nishfu Sya’ban (dengan ibadah).
(Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/235)
Itu merupakan perilaku kaum salaf, Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ .
“Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan segolongan salaf, maka itu lebih baik." (Majmu' Al Fatawa, jilid. 2, hal. 447)
📌 Catatan:
Ada pun berkumpul di masjid/mushalla, melakukan shalat khusus dengan bacaan khusus, dengan pakem khusus, adalah perselisihan fiqih ibadah sejak masa salaf.
Hal ini pernah kami bahas dalam tulisan "Pro Kontra Ritual Nishfu Sya'ban".
Sebagian ulama salaf ada yang menolaknya seperti Atha', Ibnu Abi Malikah, fuqaha Madinah, dan para sahabatnya Imam Malik (Malikiyah). Ini juga pendapat Hanafiyah, sebagian Syafi'iyah, seperti Imam An Nawawi, dan menyebutnya sebagai bid'ah qabihah (buruk). (Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 2, hal. 236. Lihat juga Fatawa Al Azhar, jilid. 10, hal. 131)
Sebagian salaf ada yang menyetujuinya, dan menilainya "Itu bukan bid'ah," seperti Khalid bin Ma'dan, Makhul, Luqman bin 'Amir, dan Ishaq bin Rahawaih. Kaum salaf memakai wangi-wangian, celak, dan beribadah sampai pagi. (Fatawa Al Azhar, jilid. 10, hal. 131)
Salah satu ulama salaf, Imam Al Fakihi (w. 272 H) bercerita tentang perbuatan penduduk Mekkah di malam Nishfu Sya'ban:
وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ
Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini (zaman Imam Al Fakihi, pen), jika datang malam Nishfu Sya'ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)
Lalu, bagaimana sikap kita? Silahkan ambil salah satu pendapat menurut keilmuan kita, namun jangan ingkari pihak lainnya.
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”
(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang orang yang shalat Ba'diyah Ashar, Beliau Rahimahullah menjawab:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.
(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Ustadz Nu'man Hasan
Komentar
Posting Komentar