Google Blunder, Kita Jadi Keblinger
Banyak teman sesama ustadz yang mengharamkan kita bertanya pada Google. Saya sendiri antara sepakat dan tidak sepakat.
Titik masalahnya google itu hanyalah mesin pencari, bukan mesin penyeleksi. Kalau sekedar mencarikan sebaris kata kunci di dunia maya, google atau Bing memang jagonya.
Namun apakah sumber tulisan itu valid atau tidak valid, resmi atau tidak resmi, dan otoritatif atau tidak otoritatif, sejak awal google tidak didesain untuk tugas semacam itu.
Disitulah salahnya ketika kita bertanya kepada Google, khususnya dalam masalah ilmu-ilmu keislaman. Intinya sumbernya tidak dijamin otoritatif dari ulama pakar di bidangnya.
** *
Lantas pihak mana yang bisa memberikan jawaban valid dan otoritatif?
Untuk menjawabnya, mari kita buat sebuah contoh perumpamaan.
Contoh paling sederhana misalnya kita bertanya tentang masalah kesehatan. Pasti ada banyak sumber yang bisa menjawab. Tapi sumber manakah yang paling otoritatif?
Disini tingkat intelektualitas dan keilmiahan kita mulai diuji. Mana yang lebih otoritatif dalam urusan kesehatan, perdukunan kah? Atau pengobatan alternatif kah? Atau kedokteran modern kah?
Anggaplah kita agak pinter sedikit dan pilih kedokteran modern. Tapi masalah belum selesai. Kalau kedokteran modern, mana yang lebih otoritatif, mantri, perawat, dokter umum atau dokter spesialis?
Sebutlah jawabannya agak lebih pinter, pilihannya jatuh kepada dokter spesialis. Mungkin karena tinggal di kota dan dokter spesialis berjibun jumlahnya, plus duitnya banyak.
Tapi kalau pilih dokter spesialis, masih ada lagi jenjang pilihannya, perseorangan kah atau
tim dokter kah? Dan begitulah seterusnya.
Disitulah kita diuji habis-habisan dan boleh jadi kita pada jeblok kalau sudah berurusan dengan skala otoritatif ini.
Kalau kita sudah paham duduk perkaranya, maka sejak awal kita harus sadar bahwa hasil pencarian google itu otoritatif atau tidak otoritatif, jelas bukan tugas google.
Memang seringkali google dianggap berdosa dan bertanggung-jawab atas hal ini. Padahal itu bukan tugas Google.
* * *
Yang jadi sumber masalah adalah banyak ulama yang sebenarnya otoritatif banget dalam ilmu-ilmu keislaman. Kita percaya dan amat yakin dengan kemampuan ilmunya.
Namun mereka tidak pernah menulis, tidak ada karyanya. Apalagi sampai memposting ilmunya di dunia maya.
Saya kenal banyak ustadz yang ilmunya jauh di atas saya. Posting juga di dunia maya, tapi apa yang di-posting sama sekali tidak mencerminkan disiplin ilmu miliknya. Malah ngomongin hal-hal lain yang tidak penting.
Sebaliknya kalangan awam yang bukan pakar di bidangnya malah pada rajin posting. Tidak pernah belajar tafsir malah posting tafsir. Tidak pernah belajar hadits, malah posting hadits. Tidak mengerti fiqih dan Ushul fiqih, malah posting urusan fiqih dan Ushul fiqih.
Awam tapi merasa pakar. Kayak gini diam-diam ternyata banyak banget jumlahnya.
Dan semua itulah yang masuk ke area pencarian Google.
Para pakar dalam berbagai disiplin ilmu agama umumnya kurang rajin memposting ilmunya. Ilmu sih ada, banyak bahkan, tapi hanya disimpan di dalam hati sanubari. Mungkin takut hilang atau entah kenapa.
Sayang sekali ternyata Google tidak bisa membaca ilmu para ulama yang ada di dalam hati sanubari.
Kesimpulannya, karya para ulama itu memang harus ditulis ulang, baik dalam bentuk kajian, makalah ataupun karya ilmiah modern. Agar bisa diposting dan masuk radar pencarian google.
Mereka yang kuliah di bidang ilmu-ilmu keislaman seharusnya diberi tugas untuk memposting karya para ulama, dalam bahasa yang lebih mudah dicerna masyarakat awam.
Ketimbang skripsi, tesis atau disertasinya hanya bikin penuh gudang perpustakaan dan tidak ada yang baca, mendingan di-posting saja. Biar terbaca dan dikenali oleh Google.
Biar isinya google bukan hanya sampah melulu. Dan biar Google tidak dituduh berdosa melulu.
By. Dr. Ahmad Sarwat, Lc MA
Komentar
Posting Komentar