Boneka versus Patung
Anggaplah kebanyakan ulama sepakat mengharamkan patung, lalu bagaima dengan boneka? Apakah jadi haram juga?
Sebagian ulama ada yang juga ikut mengharamkan boneka, lantaran boneka dianggap punya kesamaan 'illat dengan patung.
Maksudnya?
Patung dan boneka itu kan sama-sama berbentuk tiga dimensi, sama-sama punya bayangan, dan yang paling utama juga sama-sama hasil tiruan makhluk hidup, entah manusia atau hewan.
Dan karena dianggap punya banyak kesamaan dengan patung, akhirnya banyak kalangan yang mengqiyas hukumnya dengan patung, yaitu sama-sama haram.
Adanya ulama yang berfatwa bahwa boneka itu haram jangan dipungkiri, karena faktanya memang ada. Namun kalau tidak sepakat atau tidak setuju, tentu saja boleh.
Kok boleh? Bukankah para ulama sudah mengharamkan boneka? Bukankah boneka itu sama saja hakikatnya dengan patung? Kenapa jadi boleh?
Nah, ini yang penting dan jadi inti dari tulisan ini. Bahwa pendapat tentang hukum boneka itu boleh atau tidak boleh ternyata beragam di kalangan ulama. Banyak juga kalangan ulama yang mengharamkan patung, tapi tidak mengharamkan boneka. Meski pun keduanya punya banyak kesamaan.
Lalu bagaimana kok sampai ada banyak ulama yang tidak mengharamkan boneka, padahal mereka mengharamkan patung?
Jawabannya karena ibunda Mukminin Aisyah radhiyallahuanh
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي
“Dahulu aku sering bermain dengan boneka anak perempuan di sisi Nabi SAW. (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Dawud rahimahullah juga meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda kaum mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ : مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.
“Suatu hari, Rasulullah pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar (perawi hadits ragu, pen.) sementara di kamar (‘Aisyah) ada kain penutup. Ketika angin bertiup, tersingkaplah boneka-boneka mainan ‘Aisyah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa ini wahai ‘Aisyah?’ Dia (‘Aisyah) pun menjawab, ‘Boneka-boneka (mainan) milikk.’ Beliau melihat di antara boneka mainan itu ada boneka kuda yang punya dua helai sayap. Lantas beliau pun bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Yang aku lihat di tengah-tengah itu apanya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa itu yang ada pada bagian atasnya?’ ‘Aisyah menjawab, ‘Kedua sayapnya.’ Beliau menimpali, ‘Kuda punya dua sayap?’ ‘Aisyah menjawab, “’Tidakkah Engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang memiliki sayap?’ Beliau pun tertawa hingga aku melihat gigi beliau” (HR. Abu Dawud).
Hadits-hadits itu di atas itulah yang kemudian membuat para ulama membuat pengecualian. Ketika banyak hadits mengharamkan patung, namun khusus atas boneka, hukumnya tidak sama alias berbeda.
Salah satunya adalah pandangan ahli hadits kenamaan sepanjang sejarah, yaitu Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H). Beliau rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan dalil yang jelas bahwa mainan tersebut bukanlah berbentuk manusia.”
Demikian juga dengan Al-Khathabi, beliau cenderung menghalalkan mainan boneka. Camkan kalimat beliau berikut ini : “Hadits ini menunjukkan bahwa boneka mainan anak-anak tidak termasuk mainan bergambar (makhluk bernyawa) yang terdapat larangan dalam hadits."
Kalangan Yang Tetap Ingin Haramkan Boneka
Meski sudah ada hadits yang jelas tentang Aisyah yang dibiarkan saja berbain boneka oleh Nabi SAW, namun kalangan yang tetap ingin mengharamkan boneka pantang menyerah.
Mereka tetap memberikan hujjah dan argumentasi untuk bagaimana caranya agar boneka pun tetap haram. Langkah yang mereka ambil di antaranya adalah :
1. Menasakh Hadits Aisyah
Kalau suatu hadits sudah sampai level tertentu dan dishahihkan oleh sekelas Bukhari dan Muslim secara kompak, sebenarnya tidak bisa lagi dinafikan, apalagi ditolak. Seharusnya sudah lah menyerah saja.
Tapi namanya juga para ulama, mereka pasti punya banyak jalan untuk tetap 'menolak' keberadaan hadits Aisyah yang bermain boneka. Maka diadu lah hadits Aisyah itu dengan hadits larangan patung secara head to head.
Dan yang dimenangkan tentu saja hadits larangan bikin patung. Sedangkan hadits boneka Aisyah divonis mansukh, karena munculnya lebih dahulu. Sehingga untuk kurun waktu tertentu, bermain dengan boneka memang masih dibolehkan.
Lalu setelah itu baru lah muncul hadits larangan bikin patung, yang tentu saja berimbas kepada penghapusan hukum bolehnya boneka mainan.
An-Nawawi (w. 676 H) menuliskan bahwa Al-Qadhi memberi informasi bahwa ada sebagian ulama menganggap bahwa hukum hadits ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits tentang larangan patung” (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, XVI/200).
2. Pakai 'Illat Belum Baligh
Tehnik kedua untuk menghadapi hadits bolehnya main boneka adalah dengan mengatakan bahwa kebolehan itu hanya khusus bagi Aisyah yang kala itu masih kanak-kanak.
Sehingga kalau pun hukum bermain dengan boneka itu dibolehkan, harusnya yang boleh hanya kanak-kanak saja. Sedangkan yang sudah dewasa, tidak boleh lagi main boneka.
Maka perhatikan pendapat Al-Khattabi di atas, meski beliau membolehkan boneka, namun mensyaratkan yang memainkannya harus anak kecil yang belum baligh. Alasannya karena saat itu Aisyah masih kanak-kanak dan belum baligh. Seandainya sudah dewasa, pastilah tidak diperbolehkan main boneka-bonekaan
3. Boneka Yang Terpotong
Sebagian ulama lain menyebutkan bahwa kebolehan bermain dengan boneka sebagaimana yang Nabi SAW izinkan kepada Aisyah karena bonekanya tidak utuh seluruh tubuhnya, alias terpotong-poton
Salah satu yang berfatwa seperti itu adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Beliau ketika ditanyakan masalah ini menjawab bahwa asalkan boneka itu tidak utuh tubuhnya, atau hanya berbentuk tubuh dan kepala saja, namun tidak sempurna seperti makhluk, maka tidak diragukan lagi boleh hukumnya. Inilah jenis boneka yang dimainkan oleh ‘Aisyah".
(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin II/277-278, nomor pertanyaan 329).
Kesimpulan :
1. Kalau haramnya patung boleh dibilang nyaris hampir disepakati oleh banyak ulama, namun terkait boneka banyak dari mereka yang membolehkannya.
2. Namun ada juga sebagian ulama yang tetap keukeuh mengharamkan boneka, setidaknya kebolehan boneka itu mereka persempit, hanya sebatas anak-anak saja, atau hanya boleh kalau bonekanya tidak utuh alias rusak.
3. Dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama itu, kita tidak boleh saling caci dan merasa benar sendiri. Hormati saja pendapat para ulama yang berbeda. Sampaikan secara jujur dan amanah perbedaan pendapat itu, tanpa harus ngegas yang tidak perlu.
Wassalam
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Komentar
Posting Komentar